Wednesday, 17 December 2008

Indonesia Poros Demokrasi Asia


Oleh Zaenal A Budiyono, Seputar Indonesia, 17 Desember 2008

Indonesia baru saja menggelar hajatan penting dan unik bertajuk Bali Democracy Forum (BDF). Forum tersebut dihadiri hampir seluruh negara-negara Asia (31 peserta), plus enam peninjau, yaitu Italia, Inggris, Swiss, Tunisia, AS dan Kanada. BDF merupakan inisiatif Indonesia dalam mempromosaikan demokrasi. Bukan hanya kepada negara-negara di Asia, melainkan juga untuk dunia. Kemajuan luar biasa dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia membuat negara-negara Asia menyambut antusias insiatif tersebut. Tercatat, walapun ini event pertama, sejumlah kepala negara dan pemerintahan hadir, di samping para pejabat tinggi setingkat menteri.

Keunikan forum di Bali ini adalah kesan politik yang timbul, bahwa demokrasi bukan melulu identik dengan negara-negara Barat. Demokrasi ternyata mampu menyuguhkan universalisme, lintas agama dan peradaban. Pada konteks ini menjadi relevan mengutip pernyataan Presiden Yudhoyono bahwa BDF merupakan momentum bagi negara-negara di Asia untuk berbagai pengalaman dan tantangan yang mereka hadapi dalam upaya memperkuat demokrasi. “Di dalam forum ini semua peserta memiliki posisi yang sama, tidak ada satu pihak pun yang dapat mendiktekan sistem demokrasi dan politiknya kepada negara lain”, kata Presiden. Pernyataan tersebut menegaskan, negara-negara berkembang tidak ingin lagi menjadi “objek” dari proyek demokrasi ala Barat seperti yang dilakukan AS di Irak. Atas nama demokrasi, negara paman sam itu menggunakan kekuatan militer untuk menggulingkan rejim yang dianggap “tidak demokratis”.

Sambutan positif atas prakarsa BDF diberikan diantaranya oleh PM Australia Kevin Rudd, dimana ia menyatakan demokrasi bukanlah milik Barat ataupun Timur, melainkan milik seluruh umat manusia sebagaimana tercantum dalam deklarasi HAM PBB. Sementara, Sultan Hasanah Bolkiah dari Brunei Darussalam—salah satu negara yang masih mempertahankan sistem monarki di Asia—menegaskan bahwa kewajiban pemerintah adalah memenuhi kebutuhan warganya serta menjalankan sistem pemerintahan yang baik di kawasan.

Yudhoyono oleh masyarakat internasional dikenal sebagai pemimpin Asia yang konsisten mengkampanyekan perlunya pendekatan soft power dalam hubungan antar negara maupun kerja sama internasional. Konsep soft power mengandalkan pendekatan persuasif melalui ekonomi, kemasyarakatan, budaya, humaniter, pendidikan, Iptek, olahraga, hiburan, media massa dan sebagainya. Sementara hard power selalu menggunakan kekuatan militer. Tentu saja kampanye demokrasi ala soft power lebih dapat diterima daripada menggunakan hard power, yang sudah gagal oleh AS di Irak dan Afghanistan.

Mengapa Demokrasi?

Dari sekian banyak sistem politik yang pernah hadir dan dijalankan dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, demokrasi dianggap sebagai sistem politik yang relatif lebih baik dari sistem-sistem lainnya. Menurut S.I. Benn dan R.S. Peters dalam Principles of Political Thought (1964), pasca Perang Dunia II demokrasi dianut oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Penelitian keduanya diperkuat oleh temuan Unesco (1949), bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai sistem yang paling baik dan wajar (rasional) untuk semua organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan para pendukungnya. Henry B Mayo menterjemahkan demokrasi sebagai sistem politik dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan secara berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

B Mayo juga merinci nilai-nilai dalam emokrasi setidaknya meliputi enam hal. Pertama, institutionalized peaceful settlement of conflict atau menyelesaikan pereselisihan dengan damai dan secara melembaga. Kedua, peaceful change in a changing society, menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah. Ketiga, orderly succession of rulers atau melakukan pergantian kepemimpinan secara teratur. Keempat, minimum of coersion, yaitu seminimal mungkin menekan penggunaan kekerasaan dalam keadaan apapun. Kelima, diversity atau mengakui keberagaman dan perbedaan. Keenam, menjamin tegaknya keadilan. Dalam sistem demokrasi, umumnya pelanggaran terhadap keadilan tidak akan terlalu sering terjadi karena golongan-golongan telah terwakili di lembaga perwakilan.

Seluruh nilai di atas harus diperjuangkan guna mengawal transisi demokrasi di negara berkembang berjalan baik. Namun BDF tidak dalam posisi “menceramahi” negara-negara tertentu yang belum mencapai target atau enggan mengadopsi nilai-nilai demokrasi secara lengkap. Forum di Bali justru sebaliknya, menawarkan perpektif “Timur”, guna menemukan definisi baru mengenai demokrai yang faktanya kini tengah mengalami anti-klimaks di AS dan sebagian negara Barat. Mungkin saja demokrasi di Asia tidak harus sama dengan Amerika. Yang pasti demokrasi di Asia harus mampu memberi manfaat kepada rakyat dan menjaga kelestarian budaya. Memang ide ini terlihat sangat idealis. Tetapi bukan tidak mungkin untuk diwujudkan karena demokrasi di awal abad ke-20 juga dianggap terlalu idealis, bahkan utopis.


Poros Baru Asia

Lompatan besar Indonesia di percaturan politik internasional terjadi dalam empat tahun terakhir. Berbagai “beban” politik selama Orde Baru yang mengakibatkan sempitnya ruang Indonesia di panggung internasional sedikit demi sedikit mulai terbuka. Salah satu faktor pemicu lompatan tersebut adalah demokratisasi yang berjalan baik di Indonesia sehingga dunia internasional memberikan apresiasi. Hasilnya, kita dipercaya oleh negara-negara lain itu menduduki berbagai pos penting di PBB. Setidaknya Indonesia kini duduk di sembilan organ-organ penting di PBB dan organisasi internasional lainnya. Pada organ-organ penting itu Indonesia terpilih dengan rata-rata angka dukungan sangat tinggi, sekitar 165 dari 192 anggota PBB. Bahkan Indonesia juga dipercaya masuk ke dalam Dewan HAM PBB dan Dewam Keamanan. Sesuatu yang di masa lalu sangat mustahil, mengingat track record kita yang dianggap sebagai negara pelanggar HAM. Besarnya dukungan masyarakat internasional itu merupakan penegasan kembalinya Indonesia ke “orbit” negara-negara strategis di dunia.

Pengakuan non formal juga datang dari luar New York. Seperti pemberian Medali Demokrasi kepada Presiden Yudhoyono di Bali beberapa tahun lalu dari International Association of Political Consultant (IAPC). Lembaga independen ini memuji kemajuan demokrasi di Indonesia. Lalu juga Freedom House, yang pada 2005 lalu mengeluarkan laporan bahwa Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar yang patut dijadikan model bagi negara-negara Muslim lainnya. Freedom House memasukkan Indonesia ke dalam katagori negeri bebas (free), sejajar dengan negara-negara maju di dunia Barat. Atas semua prestasi demokrasi itu, Kishore Mahbubani, pakar politik asal Singapura menggambarkan kesuksesan demokrasi di Indonesia sebagai “keajaiban” di zaman modern. Indonesia mampu membuktikan Islam dan demokrasi dapat berjalan dan saling menguatkan. Di sisi lain, demokrasi di Barat (AS) justru mengalami kemunduran terburuk dalam sejarah, pasca serangan 11 September, dimana AS menjadi demikian brutal dan anti-demokrasi. Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa Bali Democracy Forum di atas menjadi bukti inisiatif Indonesia untuk terus berada di jalur, sebagai negara pendukung demokrasi di Asia. Sebuah pendekatan demokrasi baru ala Asia dari rakyat Indonesia.***